Filem Kantata Takwa The Movie Telah Tayang

Jumat, 09 September 2011 | komentar (1)


Setelah sempat teronggok selama 18 tahun dan terkena banjir bandang, untuk pertama kalinya film KANTATA TAKWA ini akan ditayangkan kepada khalayak luas mulai tanggal 26 September - 4 Oktober 2008 di jaringan bioskop BLITZ Megaplex (Grand Indonesia JAKARTA dan Paris Van Java BANDUNG).

Sebuah mahakarya mengagumkan yang seharusnya ditonton pula oleh SBY, JK beserta para jajaran menterinya. Sudah sepatutnya mereka menangis saat menyaksikannya, bahkan harus lebih termehek-mehek dari tangisan gombal di Ayat-Ayat Cinta. Harus menangis karena selama 18 tahun lamanya negara sial ini ternyata tak pernah benar-benar beranjak keluar dari masalah-masalah lama yang itu-itu saja!

Intinya, benamkan pantat Anda di sofa empuk bioskop sekarang juga atau mati saja sekarang juga (jika melewatkannya)!

Don’t Miss It…

KANTATA TAKWA : THE MOVIE
26 September – 4 Oktober 2008
@ Blitz Megaplex (sumber : wenz rawk)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------





Kantata Takwa adalah teater yang difilmkan. Semua pesannya, disampaikan sebagian besar lewat teater. Tapi, tenang saja. Bukan tipikal teater yang akan membuat kening orang awam berkerut. Setidaknya, saya sebagai orang awam teater tak berkerut melihat semua adegan film ini. Simbolisasinya digambarkan dengan cukup lugas. Lagipula, di awal film ditulis bahwa ketika film ini dibuat rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto sedang berkuasa. Makanya, saya rasa siapapun akan dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan film ini.

Militer digambarkan dengan sosok orang-orang memakai jas hujan, memakai masker, serta membawa senjata. Mereka menyiksa. Membunuh. Dan pada akhirnya, mereka dikejar massa yang kemarahannya memuncak.

Selain adegan teatrikal yang dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra, film ini menggabungkan dokumentasi pementasan konser Kantata Takwa, dan semacam wawancara singkat dengan para personel Kantata Takwa: Iwan Fals, Sawung Jabo, WS Rendra, Yockie Suryoprayogo, dan Setiawan Djody. Masing-masing menjelaskan definisi Takwa menurut mereka. Di sini ada adegan Yockie bermain piano di atas mobil, mengelilingi kota yang mengingatkan pada adegan Vanessa Carlton di video klipnya. Hanya saja, ini dibuat beberapa belas tahun lebih awal.

Ada tiga adegan yang paling saya suka. Yang pertama, adalah adegan ketika para personel Kantata berdiskusi soal konsep pertunjukkan mereka. Willy menyarankan mereka membuat lebih banyak lagu. "Asal jangan berdakwah aja," kata Iwan Fals, sambil tertelungkup di lantai dan bertelanjang dada.

Yang kedua, adalah adegan di lagu "Hio." Sawung Jabo dan Iwan Fals berhadapan dalam ruang gelap. Sorot lampu menyinari keduanya, sehingga gambar itu akan sangat indah sekali secara fotografi. "Hidup ini hanya ada dua pilihan. Serius atau tidak serius," kata Jabo kepada Iwan. "Jadi, kamu serius tidak?" kurang lebih begitu kata Jabo. Iwan, tak langsung menjawab. Ada keraguan di benaknya. "Tapi saya hanya manusia biasa," kata Iwan. Jabo yang meledak-ledak penuh semangat, dibalas Iwan yang seakan ogah-ogahan menjawab tantangan Jabo. Mungkin penulis skenario [Erros Djarot dan Gotot Prakosa] sengaja memberi dialog ini pada Iwan karena memang mereka tahu Iwan orangnya seperti itu. Jika kita mengutip kalimat "Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata" dari puisi Willy, maka Iwan cenderung malas untuk melaksanakan kata-kata.

[Sedikit intermezzo, dua hari lalu saya mewawancarai Bimbim Slank. Kurang lebih dia berkata hal yang sama soal Iwan. Jika Slank ingin tak sekadar bicara, tapi ada aksi, Iwan lebih memilih posisi sebagai seniman yang hanya mencetuskan ide.] 

Yang ketiga, adalah adegan Iwan Fals yang bertelanjang dada, menenteng gitar di sebuah tepi sungai. Di sana, dia disambut belasan anak kecil yang bertelanjang bulat dan belum disunat. "Bento! Bento! Bento!" mereka meneriakki Iwan dengan nama itu. "Jangan panggil saya Bento!" kata Iwan. Lantas, anak-anak kampung nan kumal itu mengenalkan namanya masing-masing yang ternyata namanya terdengar lebih kota daripada penampilannya. Ada yang namanya Teddy, hingga Jansen. Yang lainnya saya lupa. Dan mereka pun menyanyikan lagu "Bento," diiringi gitar kopong Iwan Fals. Adegan lalu pindah ke hutan di mana seorang lelaki botak berpakaian jas melihat-lihat tanah. Dia lantas dikejar-kejar massa dan gerombolan anak kecil. Dan lagu "Bento" pun dinyanyikan. Gambar berpindah-pindah dari adegan si bos dengan perempuan-perempuan seksi ala '90s dengan blazer yang pundaknya diberi bantalan, dan model rambut mengembang, hingga adegan di pertunjukkan Kantata Takwa.

Menjelang akhir, adegannya adalah pembunuhan semua personel Kantata. Dan di setiap adegan itu, perempuan berkerudung hanya memandang tanpa bicara nyaris tanpa emosi. Di akhir adegan, si perempuan berkerudung terlihat mengajak ratusan perempuan muda lainnya yang juga berkerudung menuju satu arah. Si perempuan berkerudung yang diperankan Clara Sinta itu, kembali memandang dari kejauhan ke arah para personel Kantata yang sedang berdiri di atas batu.

Pada saat konferensi pers, saya tanyakan soal simbol perempuan berkerudung ini kepada Erros Djarot dan Willy. Saya merasa para pembuat film tak tegas menggambarkan pandangan mereka terhadap agama. Apa yang ingin disampaikan mereka soal agama, tak segamblang atau selugas penggambaran mereka terhadap sosok penguasa yang menindas. Makanya, simbolisasinya hanya perempuan berkerudung yang bisanya cuma memandang tanpa berinteraksi. Apakah ini karena faktor banyak pita yang terendam hingga adegannya sedikit? Atau memang, itu yang dirasakan pembuat film, agama tak banyak membantu ketika penindasan itu terjadi?

Erros Djarot mengatakan bahwa di era itu banyak kyai yang terkooptasi penguasa. Dan kurang lebih seperti itulah yang ingin disampaikan. Walau begitu, dia bilang, faktor agama digambarkan dengan banyak lewat puisi-puisi yang dibacakan Kyai Willy--meminjam istilah yang digunakan Erros--di film. "Doa itu tak harus melulu literer!" kata Willy. "Kita tak perlu setiap saat mengangkat tangan dan membaca doa-doa."

Kembali ke delapan belas tahun lalu ketika pementasan Kantata Takwa digelar, Willy tak mengira gerakan budaya yang mereka susun malah berkembang menjadi besar. Djody malah mendatangkan paduan suara. Lantas malah merekam lagu-lagu yang mereka buat. "Kalau pementasannya dilarang, minimal lagunya sudah direkam," kata Djody. Djody juga membeli sinar laser untuk pertunjukkan itu. Dan bisa mendapat ijin untuk menggelarnya di stadion. "Bu Tien suka sama Djody soalnya, makanya kami dapet ijin. Djody itu wajahnya mirip Pak Harto waktu muda," kata Erros sambil terbahak.

Film Kantata Takwa ini, mengendap selama belasan tahun di rumah sutradara Gotot Prakosa. Baunya sudah sering dikeluhkan istri Gotot. "Makanya, saya telpon Erros, saya bilang, kalau film ini tak segera dibuat, saya bisa diusir dari rumah," kata Gotot sambil tertawa.

Delapan belas tahun menunggu rasanya tak apa. Seperti halnya film Rock N' Roll Circus dari The Rolling Stones yang baru dirilis pada tahun 1995 padahal dibuat pada tahun 1968, penantian akan film Kantata Takwa tak sia-sia. Melihat sosok para personel Kantata delapan belas tahun lalu, jelas menjadi nostalgia yang menyenangkan. Iwan Fals masih dalam kondisi liarnya. Bertelanjang dada, rambut panjang, berkumis dan berjenggot. Djody belum terlalu memaksakan egonya di Kantata. Dia masih sadar akan posisinya yang sama dengan yang lain, meskipun dia yang membiayai gerakan itu. Berbeda dengan ketika Kantata masuk di album Kantata Samsara, di mana Djody mulai ingin terlihat lebih menonjol dengan cara memasang fotonya dalam ukuran paling besar dan menulis kata pengantar sok bijak dan sok budayawan.          

Dan yang paling membahagiakan tentunya kehadiran film musikal seperti ini. Yang digarap dengan baik. Yang punya pesan mendalam sekaligus akan menghibur. Yang tak senorak film [maunya] musikal Bukan Bintang Biasa. Tahun depan, Garin Nugroho akan merilis film [yang sepertinya sih judulnya] Generasi Biru. Film musikal yang digabung dengan dokumenter dan animasi, tentang Indonesia yang dilihat berdasarkan lagu-lagu Slank. Dengan begitu, dua musisi pujaan saya punya film musikal yang berkualitas.[Mudah-mudahan film karya Garin juga akan semenarik Kantata Takwa].

Tapi, melihat film ini saya jadi sedikit sedih. Karena faktanya, sekarang tak ada lagi gerakan budaya sebesar dan sepopuler ketika Kantata Takwa digelar. Gerakan budaya yang tak hanya akan masuk pada kalangan seniman, budayawan dan sejenisnya. Tapi juga akan diterima dengan baik oleh orang awam.

Kantata adalah kombinasi yang pas; Musisi paling digilai di Indonesia, bertemu sastrawan kelas atas, musisi/komposer handal, musisi/seniman gila, dan musisi/penyokong dengan kondisi finansial yang super berlebih.

Buat kamu yang penasaran ingin menontonnya. Berbahagialah, karena atas adanya teknologi digital yang kemudian membuat film ini bisa diputar di bioskop, Kantata Takwa akan diputar di Blitz Megaplex dari tanggal 26 September hingga 4 Oktober. Ini masih bisa diperpanjang jika masih banyak orang yang ternyata ingin menontonnya.

Dan oya, tolong dimaafkan poster filmnya yang jelek. Untuk kali ini, tolong jangan menilai sesuatu dari sampulnya.    
Sumber:  solehsolihun.multiply.com





















Share this article :
1 Comments
Tweets
Komentar

1 komentar: